Pentingnya Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Seksual pada Anak-Anak

Pentingnya Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Seksual pada Anak-Anak

Purwokerto, 14 Desember 2021

Kasus kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan korban bukan saja orang-orang dewasa akan tetapi dialami oleh anak-anak bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara di dunia. Peningkatan pada kasus kekerasan seksual tidak hanya dari kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi akan tetapi dari segi kualitas juga terjadi peningkatan. Dan yang lebih parahnya lagi pelaku berasal dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar dimana anak itu berada antara lain lingkungan di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak tersebut.

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal ini yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan psikologis.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya usaha-usaha pada pencegahan kekerasan di sumber masalahnya dan merespon semua permasalahan anak secara terpadu, diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan kepada anak melalui pendidikan (sekolah) yang bertujuan untuk memperkuat lingkungan yang melindungi anak dari segala kekerasan khususnya kekerasan seksual. Pencegahan dengan memberikan pendidikan seks pada anak melalui guru dan orang tua harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.

Namun, kekerasan seksual juga sering kali terjadi di lingkungan pendidikan. Ini tercermin dari adanya laporan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menunjukkan terdapat 50 aduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sepanjang 2019 didominasi oleh guru. Guru atau ustadz menjadi pelaku kekerasan yang paling banyak dilaporkan, yaitu sebanyak 22 kasus. Komnas perempuan dalam laporannya menyebutkan, terdapat salah seorang korban yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya dengan pelaku seorang guru.

Terbongkarnya pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Pesantren Manarul Huda di Bandung, Jawa Barat, semakin menguak masih maraknya praktek kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Maraknya kasus tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memberikan lingkungan yang lebih ramah anak maupun perempuan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah anak korban kekerasan seksual selama 3 tahun terakhir selalu menempati urutan tertinggi. Pada 2019 ada 6.454 kasus, 2020 ada 6.980 kasus, dan tahun 2021 periode Januari – November tercatat ada 7.545 anak korban kekerasan seksual.

Dari data Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), laporan kekerasan seksual pada anak terjadi di 27 kota/kabupaten diantaranya yaitu : Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jawa Timur); Kubu Raya (Kalimantan Barat); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumatera Selatan); Bintan (Kepulauan Riau); Tanggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulawesi Selatan); Balikpapan (Kaltim); Kota Waringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jawa Barat)

Data dari 27 kabupaten atau kota tersebut belum termasuk pada kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Lyness menyebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media atau benda porno, menunjukan alat kelamin pada anak dan sebagainya. kekerasan seksual (sex abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam kategori berdasarkan identitas pelakunya :

 

  1. Familia Abuse

Familia abuse yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti, dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya.

 

  1. Extra Familia Abuse

Extra Familia Abuse yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan seiring dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya diam karena takut akan memicu amarah kedua orang tua, beberapa orang tua bahkan tidak peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pelecehan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Upaya perlindungan anak harus dimulai sedini mungkin. Di Indonesia kekerasan seksual pada anak dapat dihukum seperti dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang termuat dalam Bab XII yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 65 mengatur tentang adanya hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalah gunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 88 mengatur adanya ketentuan pidana bagi setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi ataupun seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kererasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya telah menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.

Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, pelampiasan dendam dan lain-lain. Apa yang menimpa mereka akan mempengaruhi kematangan dan kemandirian hidup anak di masa depan, caranya melihat dunia serta masa depannya secara umum. Merujuk penjelasan di atas, maka penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak harus bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahakn dan penanganan khsusnya melalui pendidikan, medis, dan aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial (keluarga, sekolah dan masyarakat). Apabila kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Pencegahan tidak kalah penting dengan penyembuhan, selayaknya pencegahan melalui pendidikan seks sudah waktunya diterapkan. Sementara bagi korban kekerasan seksual penyembuhan trauma psikis haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terlibat.

 

Selalu terhubung dengan pengacara pribadi anda melalui media sosial

Facebook : https://facebook.com/pengacarabanyumas

Linkdeln : https://www.linkedin.com/in/pengacara-purwokerto-951977211

Instagram : https://www.instagram.com/pengacarabanyumas/

Aboutme : https://about.me/pengacarabanyumas

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments