HUKUM REPRESIF DALAM MENEGAKAN TERTIB HUKUM
Gagasan hukum represif yang berpandangan bahwa tertib hukum dapat berupa ketidakadilan yang benar-benar parah, keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya keadilan, apalagi keadilan subtantif. Sebaliknya setiap tertib hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo dan dengan memberikan jubah otoritas kepada penguasa, membuat kekuasaan menjadi makin efektif, semua ini telah bisa dipahami secara umum, akan tetapi baru ada sedikit usaha secara sistematis mengkaji karakter-karakter khas daripada hukum represif, dan melakukannya dengan cara sedemikian rupa sehingga tetap memperhitungkan keragaman dari karakter-karakter tersebut, demikian menurut Philippe Nonet dana Philip Selznick dalam bukunya Hukum Responsif.
Lebih jauh dikemukakan kekuasaan pemerintahan dikatakan represif jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan orang-orang yang diperintah yaitu ketika suatu kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka yang diperintah atau dengan mengingkari legitimasi mereka sebagai akibatnya, posisi mereka yang diperintah menjadi rentang dan lemah. Sudah barang tentu setiap tindakan yang dilakukan atau keputusan yang dibuat pemerintah mensyaratkan ditempatkannya beberapa kepentingan dibawah kepentingan lainnya. Tidak semua tuntuan dapat dikabulkan dan tidak pula semua kepentingan dapat diberi pengakuan yang sama. Tetapi mengesampingkan suatu kepentingan dalam rangka memberikan kekuasaan bagi yang memang harus di prioritaskan, itu bukan sebuah tindakan represif.
Sebuah keputusan yang merugikan dan bahkan yang menyakitkan, bukan merupakan suatu represi sepanjang keputusan itu dimaksudkan untuk menghindari timbulnya bahaya dengan, misalnya mengikuti prosedur yang menghormati hak-hak seseorang, atau dengan mencari cara yang dapat mengurangi atau membatasi akibat yang membahayakan.
REZIM REPRESIFÂ
Rezim Represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku dalam hal keistimewaan dan kekuasaan. Tetapi dalam beberapa hal hingga dan tingkat tertentu, setiap tatanan politik itu bersifat represif.
Lebih jauh lagi, potensi represif akan meningkat ketika harapan-harapan semakin meluas dan kepentingan-kepentingan baru dikemukakan, karena akan banyak peristiwa yang muncul ketika instruksi dari pemerintah mensyaratkan atau mendorong diabaikannya tuntutan-tuntutan yang sangat santer atas hak. Disisi lain, mengabaikan terhadap hak dapat dirasakan bukan sebagai represif jika tindakan tersebut terjadi dalam keadaan darurat yang dirasakan secara luas, seperti situasa perang atau situasi yang sejenis. Karena itu dalam subtansinya, represif seperti halnya dehumanisasi adalah ide yang sangat realistis. Namun hal ini tidak seharusnya menghalangi kita untuk mengakui hukum represif sebagai suatu fenomena yang gambaran umumnya dapat diketahui meski terdapat variasi dalam hal budaya dan konteksnya.
Dengan pemahaman seperti itu, represif tidak harus penindasan dengan kasar. Represif juga terjadi ketika kekuasaan bersifat lunak tetapi hanya sedikit memperhatikan, dan tidak secara efektif dikendalikan oleh berbagai kepentingan yang ada. Bentuk represif yang paling jelas adalah penggunaan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakan perintah, menekan pihak yang tidak patuh, atau menghentikan protes. Tetapi represif sering juga yang sangat halus dan dilakukan secara tidak langsung, dengan mendorong dan mengekploitasi persetujuan pasif.
TERTIB HUKUM
Pada prinsipnya tertib hukum dapat menggunakan paksaan atau bergantung pada kekuasaan tertinggi untuk melakukan paksaan, hal tersebut semata-mata tidak membuat suatu sistem menjadi represif. Paksaan menjadi jinak ketika ia bersifat diskriminatif pada saat digunakan dan sengaja dibuat untuk menciptakan ancaman atau bahaya tertentu, ketika sarana kontrol alternatif dicari, dan ketika tersedia kesempatan bagi target paksaan itu untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan-kepentingannya. Tentu saja, tidak berarti bahwa paksaan itu tidak bersalah. Bahkan jika kekuatan dalam melakukan paksaan dikurangi, paksaan tetap cenderung mendorong terjadinya represif karena :
-
- Tersedianya alat-alat pemaksa memberikan alternatif yang nyaman dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan akomodasi.
- Penggunaan kekuatan merupakan pelecehan terhadap kemanusiaan (dehumanisasi), seorang target paksaan akan dijauhkan dari situasi dialog, persuasi, dan penghormatan, legitimasi atas tuntutan-tuntutannya pun akan lebih mudah ditolak. Karena itu, meski dalam teori paksaan dapat dibatasi pada tindakan-tindakan tertentu yang halus, selalu ada resiko bahwa pembatasan itu akan menghasilkan hancurnya kehormatan seseorang. Kekuatan yang memaksa tidak represif jika kehormatan orang-orang dijaga bahkan pada saat kekuatan diterapkan terhadap mereka.
Paksaan tidak harus represif, demikian juga represif tidak harus bersifat memaksa secara langsung. Ketika pemerintah mendapatkan legitimasi, karena ia memelihara apa yang oleh menurut pendapatnya Austin disebut kebiasaan umum untuk taat. Tetapi hasil semacam itu membutuhkan tidak lebih dari sekedar persetujuan diam-diam dari warga negara secara umum.
Persetujuan tanpa protes yang terdapat dalam ketakutan dan terpelihara dengan sikap apatis membuka jalan bagi otoritas yang sah namun tidak terkontrol, selain itu beberapa bentuk persetujuan terdistorsi oleh keputusan, misalnya ketika kelemahan tidak terorganisasi golongan yang ditekan membuat mereka menerima tujuan dan respektif dari pihak yang menekan, memang represif bisa menjadi sempurna meski ia tidak sampai ke paksaan. Dengan demikian kunci menuju represif tidak terletak pada paksaan atau persetujuan itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah seberapa jauh kekuasaan memperhitungkan dan dikontrol oleh kepentingan-kepentingan bawahannya sebagaimana yang ditunjukan oleh kualitas persetujuan dan penggunaan paksaan.
KARAKTER HUKUM REPRESIFÂ
Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis , hukum represif menjukan karakter-karakter berikut ini :
- Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan ditempatkan dibawah tujuan negara.
- Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting, dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resmi yang terbangun, manfaat dan kegunaan masuk ke sistem dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
- Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti Polisi menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
- Sebuah rezim hukum berganda melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola sub ordinasi sosial.
- Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moralisme hukum yang akan menang.
Bagian berikutnya akan menelaah karakter-karakter hukum represif dan mendiskusikan proses sosial yang memunculkan karakter-karakter tersebut. Strategi secara keseluruhan untuk menekankan represi adalah sesuatu yang alami dengan kata lain, penilaian kritis pada hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik tentang bagaimana ia bisa muncul. Jadi sumber yang umum bagi suatu represi adalah minimnya sumber-sumber yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena represif adalah sesuatu yang besar kemungkinannya menggiring pembentukan dan terpelihara tatanan politik, dan dapat terjadi tanpa disengaja dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang baik.
Oleh : Is.Heru Permana,S.H.,M.H.
Selalu terhubung dengan pengacara pribadi anda melalui media sosial
Facebook : https://facebook.com/pengacarabanyumas
Linkdeln : https://www.linkedin.com/in/pengacara-purwokerto-951977211
Instagram : https://www.instagram.com/advokat.pengacara.purwokerto/
Aboutme : https://about.me/pengacarabanyumas